Sunday, August 25, 2013

Cara agar disukai banyak orang


Hidup tanpa di cintai ibarat orang yang tersesat di tengah hutan belantara yang jauh dari pemukiman. Maka dari itu disini saya ingin berbagi sedikit trik yang mungkin bisa bermanfaat untuk anda di dunia ini. pastinya anda sudah tidak sabar untuk mengetahui sebenarnya trik apa yang akan saya bagikan. Dibawah inri saya akan menjelaskannya :

1. Pertama - tama kita harus ber - perilaku baik
Berperilaku baik disini diartikan bersikap yang sewajarnya saja, tidak frontal. Jika kita berperilaku baik pastinya orang akan senang dekat dengan kita, karena seseorang akan menilai saat mereka bergaul dengan anda.


2. Kedua menjaga lisan kita
Menjaga lisan disini anda dianjurkan untuk menjaga setiap tutur kata yang terucap oleh lisan kita. Karena lisan kita juga bisa menjadi bomerang untuk orang lain jika kita tidak bisa menjaganya baik - baik.

3. Ketiga menjaga diri dari penyakit hati
Penyakit hati memang dimiliki semua orang termasuk saya sendiri, tapi kita harus lebih hebat menyikapi dan melawannya, karena jika kita tidak kuat melawan nya pasti hidup kita tidak akan bisa tenang, itu semua sudah pasti. karena selalu merasa ada masalah. contoh dari panyakit hati : Iri hati, Dengki, Sombong dan lainnya.

Demikian sedikit ilmu yang mungkin bisa memotivasi anda untuk memperbanyak saudara didunia ini, jadikan lah hidup ini lebih bermanfaat karena hidup cuma sekali. terimakasih untuk anda yang sudah menyempatkan diri membaca artikel yang simple ini. Semoga bermanfaat. Aamiin
                   

Tuesday, April 2, 2013

Kata Cinta Lucu

Hidupku tanpa cintamu,
terasa ada perang dihatiku.
Maukah kau menjadi juru damaiku?

Orang yang  tidak mencintaiku adalah  seorang yang bodoh dalam bercinta.
Jadi, mau kah kau menjadi orang bodoh?

Cintaku menggelitik hatimu. Tapi dia akan tetap di sana karena akan sulit kau garuk dan kau hilangkan.
Aku akan datang untukmu jika kau memnbutuhkan obatnya.

Banyak jalan menuju cinta.
Pastikan kamu melihat rambu - rambunya dengan benar.
"merah untuk stop"
"dan hijau untuk jalan terus"
" jadi aku pasang rambu hijau hanya untukmu agar kau bisa jalan terus kedalam isi hatiku." 

 

 

Thursday, March 21, 2013

Cara jitu mengatasi sakit gigi

Gigi adalah bagian dari manusia yang sangat sensitif. Karena setiap kali manusia mengisi perutnya pasti gigi yang menjadi organ paling utama.


Untuk itu jika anda mengalami sakit gigi yang tak kunjung sembuh, saya punya sedikit saran yang mungkin bisa anda ikuti dan semoga bisa menjdai obat yang mujarab buat anda semua. Caranya cukup simpel dan juga tidak memerlukan biaya mahal. mari kita ikuti langkah dibawah ini :

1. Carilah hewan siput.
Hewan siput memang hewan yang jarang kita temui disembarang tempat, hewan ini memiliki lendir yang sangat mujarab. 

- jika anda sudah menemukannya maka langkah berikutnya :

2. Gunakan kapas
Gunakan kapas untuk mengambil atau sekedar menempelkannya ke lidah siput, tapi usahakan agar lendir yang terserap tepat pada kapas yang anda sediakan.

- next

3. Tempelkan Kapas
Nah ini adalah final dari proses pengobatan anda, yaitu dengan menempelkan bagiaan kapas yang telah teresapi lendir siput tersebut. Usahakan kapas yang teresapi lendir siput tersebut tepat anda sisipkan disela atau diatas bagian gigi yang anda rasakan sakit. dan kemudian anda gigit sampai 12 jam. Jika gigi anda masih terasa sakit cobalah diterapi setiap sebelum tidur dan hasilnya silakan anda rasakan sendiri setelah mencobanya. semoga berhasil dan lekas sembuh.

SEMOGA INFORMASI DIATAS BISA MEMBANTU ANDA. KARENA SEGALA PENYAKIT PASTI ADA OBATNYA.



Saturday, March 16, 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN KOTA TUA JAKARTA


 Oleh: Asep Kambali *


A.     Kota Tua Jakarta https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioTiy4-4pNPoXaWCexEib-6AnhyphenhyphenVFzmxTmRHMpW9VmW0RT-xv0Z1uJfnZ2fMA0ZZc9Z0XVYVC2V_tcT-CPR3GsU6D2LlbNQmKtKejSpaEsJ_e8YA-rfidgNjpIuLJMkmGz9uMjw49t2DNo/s400/glodok.jpg


1.     Letak Geografis
Kota Tua Jakarta terletak di Kelurahan Pinangsia Kecamatan Tamansari Kotamadya Jakarta Barat. Saat ini, kawasan Kota Tua berada di dua wilayah kotamadya, yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kota Tua sebagai cikal bakal Jakarta, tentunya menyimpan banyak cerita di balik megahnya bangunan (tua) cagar budaya peninggalan masa lalu dari zaman kolonial Belanda.

Kota Tua Jakarta, daerahnya berbatasan sebelah utara dengan Pasar Ikan, Pelabuhan Sunda Kalapa dan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Jembatan Batu dan jalan Asemka, sebelah Barat berbatasan dengan Kali Krukut dan sebelah Timur berbatasan dengan Kali Ciliwung.

Kota Tua Jakarta di masa lalu merupakan kota rebutan yang menjadi simbol kejayaan bagi siapa saja yang mampu menguasainya. Tak heran jika mulai dari Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sunda –Pajajaran, Kesultanan Banten –Jayakarta, Verenigde Oost-indische Compagnie (VOC), Pemerintah Jepang, hingga kini Republik Indonesia melalui Pemerintah DKI Jakarta, terus berupaya mempertahankannya menjadi kota nomor satu di negara ini.

2.      Latar Belakang Sejarah
Sejarah Kota Tua Jakarta dimulai dari sebuah pelabuhan yang kini dikenal sebagai Sunda Kalapa. Pelabuhan ini pernah dikenal berbagai bangsa di dunia sebagai pelabuhan dagang internasional termegah di Asia Tenggara. Fa Hsien pengelana Cina pada abad ke-5 M menceritakan bahwa di bentangan Teluk Jakarta terdapat sebuah wilayah kekuasaan yang disebut “To-lo-mo” atau Tarumanegara.[1] Hal ini juga terdapat di dalam kronik Dinasti Tang yang menyebutkan tentang kedatangan utusan-utusan kerajaan To-lo-mo (penyebutan orang-orang Cina terhadap Ta-ru-ma) pada tahun 525, 528, 666 dan tahun 669 M ke negeri Cina. To-lo-mo disamakan dengan ucapan lidah orang-orang Cina untuk negeri Ta-ru-ma atau Tarumanegara.

Sagimun (1988:34) juga menjelaskan, bahwa kerajaan Taruma-negara atau Taruma berasal dari kata tarum, yaitu sejenis tumbuh-tumbuhan yang daunnya dibuat nila, yakni bahan cat biru dari daun tarum (indigofera). Nila sering digunakan untuk mewarnai kain atau sejenisnya. Kata tarum juga dipergunakan sebagai nama sungai di Jawa Barat, yaitu Citarum. Jika kita perhatikan secara geografis, maka letak kerajaan Tarumanegara itu memang terletak di aliran Citarum.[2]

Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang terkenal, Purnawarman, wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Jakarta, Bekasi, Banten, dan Citarum. Hal ini dapat di ketahui dari tujuh buah prasasti yang ditemukan di kawasan Bogor, Banten dan Jakarta, yakni prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Muara Cianteun, Lebak, dan prasasti Tugu[3]. Prasasti yang terakhir inilah yang paling banyak memberikan keterangan dan petunjuk mengenai kerajaan Hindu tertua di pulau Jawa, yaitu Tarumanegara.

Prasasti Tugu ditemukan pada tahun 1878 di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing, sebelah Tenggara Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada 1910, prasasti ini dipindahkan ke Museum Pusat[4] (Kini Museum Nasional/ Museum Gajah), dan replica-nya masih dapat kita saksikan di Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah.

Setelah Raja Purnawarman wafat, tidak diketahui siapa pengganti baginda. Selama beberapa abad kerajaan Tarumanegara seolah hilang begitu saja dan kerajaan ini mengalami masa kegelapan di dalam sejarah. Hal ini karena tidak ada satupun sumber sejarah (seperti prasasti atau batu bertulis) yang menceritakan tentang aktivitas kehidupan manusia di Jawa Barat setelah Tarumanegara mengirimkan utusannya yang terakhir pada 669 M ke negeri Cina.

Rupanya kerajaan Tarumanegara telah dikalahkan oleh suatu kekuasaan luar. Namun, tidak mungkin seluruh rakyatnya musnah dan lenyap begitu saja dari permukaan bumi. Ada dugaan kuat, bahwa kerajaan Tarumanegara dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya (yang pusatnya di Palembang). Hal ini dapat diketahui dalam prasasti Keduken Bukit, Kota Kapur dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung.
Pada tahun 686 M, Sriwijaya melaksanakan ekspedisi militernya ke Bhumijawa. Hal ini tercantum di dalam prasasti Kota Kapur yang berangka tahun saka 608 atau tahun 686 M. Di dalam prasasti ini diceritakan pula bahwa Bhumijawa tidak mau tunduk kepada kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu, kerajaan Sriwijaya mengirimkan tentaranya untuk menyerang dan menghukum Bhumijawa.

Dugaan ini semakin kuat bahwa Bhumijawa yang dimaksud di dalam prasasti Kota Kapur itu jelas adalah Tanah Jawa atau Pulau Jawa. Kerajaan atau  negeri yang letaknya di Bhumijawa dan berdekatan dengan kerajaan Sriwijaya pada waktu itu adalah kerajaan Tarumanegara. Maka sangat dimungkinkan kerajaan Tarumanegara diserang dan dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya.[5]

Beberapa abad kemudian, (pelabuhan) Tarumanegara dikenal sebagai pelabuhan Kalapa. Karena berada di bawah penguasaan Kerajaan Sunda –Pajajaran, maka kemudian bernama Sunda Kalapa[6] yang terletak di muara sungai Ciliwung. Hal ini didasarkan atas keterangan di dalam prasasti Batu Tulis yang ditemukan pada 15 Juni 1960.

Penjelasan mengenai pelabuhan Sunda Kalapa ini juga diperkuat oleh keterangan seorang pelaut Belanda Jan Huygen van Linschoten, yang menemukan rahasia-rahasia perdagangan dan navigasi bangsa Portugis, dalam karyanya Itinerario, Lincshoten mengungkapkan bahwa “pelabuhan utama di pulau ini (jawa) adalah Sunda Calapa. Di tempat ini didapati sangat banyak lada yang bermutu lebih tinggi daripada lada India atau Malabar...”[7]

Kerajaan Sunda –Pajajaran diperkirakan muncul pada abad ke-14 dan pusat pemerintahannya terletak di Pakuan, Bogor. Rajanya yang terkenal ketika itu adalah Sri Baduga Maharaja. Menurut Baros, seorang pengelana Portugis, jumlah penduduk kerajan Sunda Pajajaran berkisar 100.000 jiwa. Baros, juga menambahkan, bahwa penduduk yang bermukim di Sunda Kalapa ketika itu kurang lebih 10.000 jiwa.[8]

Pelabuhan Sunda Kalapa merupakan salah satu dari enam pelabuhan penting di bawah penguasaan kerajaan Sunda Pajajaran yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang lokal dan internasional terutama dari negeri Cina. Pelabuhan-pelabuhan itu antara lain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tanara, Cimanuk dan Kalapa atau Sunda Kalapa.

Pelabuhan Kalapa atau Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang letaknya paling strategis. Pelabuhan ini mencuat pada abad ke-14 dan semakin terkenal di awal abad ke-16.[9] Dimana ketika itu orang-orang Portugis di Malaka telah menjalin kerjasama perdagangan dan pertahanan dengan penguasa Sunda Kalapa pada 21 Agustus 1522 yang diwujudkan ke dalam prasasti Padrao (baca: Padrong).
Sementara itu di tempat lain, di sebelah Barat Kerajaan Sunda telah muncul Kesultanan Banten serta di sebelah Timur-nya telah muncul pula Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon yang ternyata juga sangat berminat terhadap Pelabuhan Sunda Kalapa yang ramai itu.
Akhirnya, pada 22 Juni 1527,[10] Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten bersatu di bawah pimpinan Fatahillah menyerbu Sunda Kalapa yang secara cepat berhasil merebut dan menguasai Sunda Kalapa. Bangsawan asal Sumatera sekaligus menantu dari Sultan Trenggono –penguasa Demak ini, kemudian mengganti nama Sunda Kalapa yang baru direbutnya itu, menjadi pelabuhan “Jayakarta” yang berarti kemenangan sempurna,[11] atau kemenangan yang gilang gemilang.

Fatahillah, kemudian diangkat menjadi bupati Jayakarta, yang secara hierarkis bertanggung jawab kepada Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, wali yang berkedudukan di Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, putranya Maulana Hasanudin menjadi Sultan berdaulat di Banten dan Jayakarta menjadi wilayah vasal dari kesultanan Banten.
Penguasaan Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang berakhir ketika orang-orang Belanda di bawah bendera VOC[12] pimpinan Jan Pieterszoon Coen[13] berhasil menaklukan Jayakarta dan mengusir Pangeran Ahmad Jakarta beserta pasukannya ke hutan Jati hingga wafat dan dikubur di sana.[14]

JP. Coen dengan bebasnya menghancurkan keraton dengan seluruh isinya dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Di bawah penguasaannya, Batavia akan dijadikan ibukota suatu kerajaan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan orang Belanda yang memonopolinya. Ia juga membangun galangan kapal dan rumah sakit, berbagai rumah penginapan dan toko, dua buah gereja di (dalam dan di luar benteng) Batavia.

Ternyata, tidak semua mimpi JP. Coen membuahkan hasil. Sang pendiri Batavia ini terlampau dianggap kontroversial serta bahkan oleh sejarawan kolonial abad ke-20, JA. Van Den Chijs dikatakan bahwa “namanya selalu berbau darah”.[15] Namun, terlepas dari semua itu, pada ulang tahun Batavia ke-250 (1869) di Waterlooplein (Lapangan Banteng), dibangun patung JP.Coen yang berpose gaya Napoleon. Namun, sayang pada masa Jepang patung tersebut dilebur menjadi logam tua.[16]

Pusat Kota Batavia terletak di bekas Balai Kota yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta/ Museum Fatahillah. Bangunan bertingkat dua yang menjadi pusat kota dan pemerintahan VOC se-Asia tenggara itu diselesaikan pada tahun 1712. Namun, dua tahun sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck (1653-1713).[17] Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balai Kota kedua dari Balai Kota pertama yang lebih kecil, sederhana dan didirikan pada tahun 1620, tapi hanya bertahan selama beberapa tahun saja.

Kegiatan-kegiatan di dalam Balaikota sangat beragam, selain mengurus masalah pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan, catatan sipil, peradilan, tempat hukuman mati, dan perdagangan sehingga dahulu masyarakat mengenalnya sebagai “Gedung Bicara”. Kemudian, Balai Kota ini juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan, karena banyak para tahanan yang mati sebelum dijatuhkannya hukuman. Di samping itu juga Balai Kota digunakan sebagai pusat milisi atau Schutterij dari tahun 1620-1815 yang dikomandani oleh seorang ketua Dewan Kota Praja.

Pada bulan Agustus 1816, Balai Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah bahwa Sir John Fendall mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga berakhirlah pemerintahan sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925 gedung Balai Kota ini menjadi kantor pemerintahan Provinsi Jawa Barat sampai Perang Dunia II. Pemerintah Kota Praja Batavia pindah ke tempatnya di Medan Merdeka selatan di samping gedung bertingkat Pemerintah DKI Jakarta sekarang.

Seusai Perang dunia II, gedung Balai kota itu dipakai sebagai Markas tentara (Kodim 0503). Sewaktu Ali Sadikin menjadi gubernur, gedung dipugar dengan sangat baik, dan sejak 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta. Sementara itu, bentuk kota Batavia awal direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan jalan-jalan lurus dan parit-parit. Pengembangan kota ini pun tidak surut walaupun pada tahun 1628 dan 1629 kota Batavia dikurung tentara Mataram.

Sepeninggal JP. Coen (1629), perkembangan kota makin pesat di bawah Gubernur Jendral Jacques Specx. Kali besar yang semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos kota. Kastil atau benteng yang adalah tempat kediaman dan kantor pejabat tinggi pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam serta tentara untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta barang-barang berharga yang tersimpan dibalik tembok kuatnya.

Di seberang Kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut, didirikan Bastion Culemborg untuk mengamankan pelabuhan Batavia. Bastion atau kubu ini sekarang masih ada. Pada tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan didalamnya. Di belakang tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg lalu mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809, dibangun berbagai gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang ini dipakai untuk menyimpan barang dagangan seperti pala, lada, kopi dan teh. Sebagian besar gudang penting ini sekarang digunakan sebagai Museum Bahari.

Lebih tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer Er Scheepswerf (Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum Bahari berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan rawa-rawa dan empang. Galangan kapal sudah berfungsi di tempat sekarang ini juga sejak tahun 1632, di atas tanah timbunan di tepi barat Kali Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok (1920), Kali Besar ini menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini air Kali Krukut sajalah yang mengalir melalui Kali Besar.
Tentang Kali Besar ini, hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit Batavia. Di sekitar kawasan ini juga dibangun rumah koppel yang dikenal kini sebagai Toko Merah dikarenakan balok, kusen dan papan dinding didalamnya di cat merah. Rumah ini di bangun sekitar tahun 1730 oleh G. Von Inhoff sebelum ia menjabat gubernur jenderal.[18] Pada abad ke-18 ini pula, Batavia menjadi termasyhur sebagai Koningin Van Het Oosten (Ratu dari Timur), karena bangunannya dan lingkungan kotanya demikian indah bergaya Eropa yang muncul di benua tropis.

Namun, pada akhir abad ke-18 citra Ratu dari Timur itu menurun drastis. Willard A. Hanna dalam bukunya “Hikayat Jakarta” mencatat, bahwa kejadian itu diawali oleh gempa bumi yang begitu dahsyat. Malam tanggal 4-5 November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung dan mengacaukan persediaan air dan memporak-porandakan sistem pengaliran air di seluruh daerah. Gempa itu disertai letusan-letusan gunung api dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah dan membawa sekian banyak endapan ke tempat dimana sungai itu mengalir ke laut, sehingga kastil yang semula berbatasan dengan laut seakan-akan mundur sekurang-kurangnya 1 kilometer ke arah pedalaman.

Untuk menanggulangi berbagai masalah penyaluran air dan guna membuka daerah baru di pinggiran kota, pihak VOC Belanda telah mengubah sistem terusan yang ada secara besar-besaran. Pembukaan terusan baru yang penting tepat di sebelah Selatan kota pada tahun 1732. Jatuh bersamaan waktunya dengan wabah besar pertama suatu penyakit, yang sekarang diduga adalah mal-aria (malaria), suatu bencana baru bagi penduduk kota yang berulang kali menderita disentri dan kolera (pada zaman itu belum diketahui).

Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang dokter menganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan dengan membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak bersih, lalu tidah usah dimasak. Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak peduli dan minum air Ciliwung begitu saja.

Hampir tidak dapat dibayangkan betapa tidak sehatnya daerah kota dan sekitarnya pada abad ke-18. Orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jalan Pangeran Jayakarta dan pindah ke selatan, ke kawasan Jalan Gajah Mada dan Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang miskin, sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk dikubur di pekuburan budak-belian, di lokasi yang kini menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah utara Gereja Sion. Karena itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru sebagai Het graf der Hollander (kuburan orang Belanda).

Akibat berikutnya, sesudah 1798 banyak gedung besar di dalam kota juga kampung lama para Mardijker yang digunakan sebagai ‘tambang batu’ untuk membangun rumah baru di daerah yang letaknya lebih selatan. ‘Tambang Batu’ ini terjadi karena begitu banyak orang susah mendapatkan makanan dan karena wilayah di selatan kota tengah dibangun, maka orang-orang miskin kala itu banyak yang menggugurkan rumah dan menjual bebatuannya untuk memperoleh makanan. John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Countries (London, 1856) menuliskan :
“Orang Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar 45 derajat garis lintang, waktu mereka membangun sebuah kota menurut model kota-kota Belanda. Apalagi kota ini didirikan pada garis lintang enam derajat dari khatulistiwa dan hampir pada permukaan laut. Sungai Ciliwung yang dialirkan melalui seluruh kota dengan kali-kali yang bagus, tak lagi mengalir karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan wabah malaria, yang terbawa oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar kota. Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang mematikan. Keadaan ini makin parah selama 80 tahun -sesudah Batavia didirikan, oleh serentetan gempa bumi hebat yang berlangsung pada tanggal 4-5 November 1699. Gempa tersebut menyebabkan terjadinya gunung longsor, tempat pangkal sumber air ini. Aliran airnya terpaksa mencari jalan baru dan banyak lumpur terbawa arus. Tak pelak lagi, kali-kali di Batavia bahkan tanggul-tanggulnya penuh dengan lumpur. Penanggulangan keadaan buruk itu baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman Perancis tahun 1809 (zaman Perancis sesungguhnya hanya berlangsung dari bulan Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan tersebut diteruskan sampai pada 1817 di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali. Banyak kali di timbun dan kiri-kanan sungai dibentengi tanggul sampai sejauh satu mil masuk teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai tersebut. Sesudahnya Batavia tidak sehat daripada kota pantai tropis manapun. Bagian kota yang baru atau pinggiran kota tidak pernah mempunyai reputasi jelek”.[19]

Sementara itu, pada 09 Mei 1821 Bataviasche Courant melaporkan, bahwa 158 orang meninggal akibat kolera di Kota dan tiga hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Rumah sakit masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup.

Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Nieuw Batavia (Batavia Baru) di tanah Weltevreden (kini sekitar Gambir dan Monas). Inilah tragedi mengerikan tentang sebuah kota akibat kegagalan penduduknya dalam mengelola lingkungan. Akankah tragedi ini terulang? Semua bergantung pada kearifan kita dalam memahami alam lingkungan yang serba terbatas di hadapan nafsu manusia yang kerap melampaui batas sewajarnya.

VOC hanya bertahan hingga 1799,[20] setelah itu pemerintahan Nederlansche Indie (Hindia Belanda) di ambil alih langsung oleh Kerajaan Belanda. Di bawah penguasaan langsung dari Kerajaan Belanda, pada pertengahan abad ke-19, kawasan Nieuw Batavia ini berkembang pesat. Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah menghiasi kawasan ini.

Pada 1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Kerajaan Belanda atas Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta begitu pun Pelabuhan Batavia digantinya menjadi Pelabuhan Jakarta.[21] Pada periode ini banyak bangunan peninggalan Belanda yang diratakan dengan tanah. Salah satunya Amsterdam Poort yang terletak di jalan Cengkeh sekarang. Untung saja Jepang berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, tepat pada pada 17 Agustus 1945, Hindia Belanda di Proklamasikan rakyat Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai ibukota dari Republik Indonesia.

3.      Pentingnya Pelestarian Kota Tua Jakarta
Dengan latar belakang sejarah yang begitu panjang, maka sangat layak jika kemudian daerah bekas kekuasaan berbagai kerajaan dan negara itu kita sebut sebagai Kota Tua. Sebagai Kota yang tua (lama), sudah tentu banyak menyimpan bangunan-bangunan (tua) sisa peninggalan para pendahulu yang bernilai sejarah, arsitektur dan arkelologis dari beberapa zaman yang berbeda.

Untuk melestarikannya, pemerintah DKI Jakarta melindungi bangunan-bangunan tersebut berdasarkan Undang-Undang Monumenten Ordonantie No.19 tahun 1931, (Staatsblad Tahun 1931 No. 238), yang telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934, No. 515).[22] Upaya ini tak lepas dari peran dan ide sang Gubernur Jakarta ketika itu, yakni Ali Sadikin (1966-1977) tatkala dirinya banyak berkunjung ke Eropa saat menjabat sebagai Deputy Menteri Panglima Angkatan Laut sebelum menjadi gubernur.

Bang Ali (panggilan akrab Ali Sadikin), segera merealisasikan ide dan gagasannya itu dengan berlandaskan pada Undang-Undang di atas ke dalam SK Gubernur No.Cb. 11/1/12/1972 tanggal 10 Januari 1972 yang pada intinya berisi penetapan tentang pemugaran bangunan, penetapan daerah khusus yang dilindungi karena bernilai sejarah dan arsitektur.

Upaya ini sempat terhenti selama lebih dari 20 tahun, dan dinilai perlu untuk menetapkan pengaturan benda-benda cagar budaya dengan mengeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang setahun kemudian direalisasikan oleh Pemda DKI Jakarta dengan mengeluarkan SK Gubernur No.Cb. 475 Tahun 1993 yang isinya menetapkan Bangunan-Banguan Bersejarah dan Monumen di DKI Jakarta dilindungi sebagai bangunan cagar budaya (BCB) oleh pemerintah.

Benda Cagar Budaya seperti yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisanya, yang berusia sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Semua benda cagar budaya, yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia, dikuasai oleh negara.

Asep Kambali, pemerhati Kota Tua Jakarta mengatakan bahwa di Jakarta terdapat lebih dari 216 bangunan cagar budaya (BCB) yang dilindungi berdasarkan SK Gub. No. 475/1993 yang diantaranya itu hampir 75% kondisinya sangat mengkhawatirkan.[23]  Hal ini menjadi bukti bahwa warga Jakarta belum memiliki perhatian dan kepedulian terhadap potensi kotanya sendiri. Ini juga disinyalir sebagai rendahnya kesadaran sejarah dan budaya warga kota metropolitan tersebut.


4.      Potensi yang terabaikan
Kini, kawasan Kota Tua Jakarta sedang dibenahi Pemda DKI Jakarta dalam suatu proyek revitalisasi. Namun, berdasarkan pengamatan penulis, sangat disayangkan proyek tersebut baru serius dikerjakan ketika terdapat beberapa bangunan-banguan (tua) cagar budaya telah hancur dan kondisinya sangat memprihatinkan. Jembatan Kota Intan yang dibangun 1628 misalnya, kini diambang roboh karena kondisinya telah rapuh. Ditambah lagi beberapa bangunan lain seperti seperti Museum Bahari yang atapnya roboh pertengahan tahun 2006 lalu; Gedung Cipta Niaga yang dibangun sekitar 1910-an, kini kondisi atapnya telah roboh; gedung Kota Bawah yang semakin hari semakin merana, dan sebagainya yang itu semua teramati secara jelas oleh Peneliti ketika melakukan observasi ke daerah Kota Tua Jakarta.

Gedung-gedung tersebut merupakan saksi sejarah yang seharusnya dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatkan sebagi potensi pariwisata yang bermanfaat ekonomis dan sosial. Namun, sejak pemerintah memfokuskan pembanguan ke kawasan “segitiga emas” Jl. Sudirman, Jl. MH. Thamrin dan Jl. HR. Rasuna Said, kawasan Kota Tua sepertinya dilupakan oleh pemerintah lebih dari 30 tahun sejak Bang Ali menetapkan Kota Tua Jakarta sebagai kawasan cagar budaya yang dilindungi.

Salah satu proyek revitalisasi yang gencar dilakukan dan kini tersendat adalah Proyek Tunel (Tempat Penyeberangan Orang Bawah Tanah –TPO BT) yang menghubungkan Museum Bank Mandiri dengan Stasiun BeOS –Jakarta Kota. Proyek itu sangat kontroversial karena kabarnya tidak melibatkan sejarawan dan arkeolog dalam pelaksanaanya. Kabarnya proyek ini melanggar SK Gub. No.475/1993, dan berdasarkan SK tersebut, proyek ini layak jika disebut sebagai Archeological Crime. Hal ini disebabkan proyek tidak dihentikan ketika banyak ditemukannya artefak-artefak dari dalam tanah pada proyek tersebut.[24]

Proyek yang lain adalah Pembangunan Predestrian (trotoar) Jalan Pintu Besar Utara sepanjang 300 meter. Proyek ini walaupun telah selesai, kabarnya juga kontroversial. Konsep yang di kerjakan oleh arsitek kenamaan Budi Liem, juga mengundang kritik banyak pihak seperti ahli tata ruang kota, Marco Kusumawidjaja.[25]

Kedua proyek di atas, sebenarnya adalah untuk mendukung Revitalisasi Kota Tua yang sudah hampir 30 tahun tersendat. Namun, perlu digarisbawahi, hal yang paling penting adalah bahwa ini tak terlepas dari upaya bagaimana sesungguhnya menumbuhkan penghargaan, kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap kawasan Kota Tua Jakarta.

Pemerintah jujur mengakui, bahwa generasi muda kita saat ini kurang begitu suka berkunjung ke museum atau pun ke Kota Tua Jakarta.[26] Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran sejarah dan budaya masyarakat Jakarta terhadap kotanya. Belajar sejarah merupakan sesuatu yang membosankan, apa lagi berkunjung ke museum  yang sama sekali belum menjadi habbit (kebiasaan). Betapa tidak, pilihan diluar museum lebih manjanjikan dan menyenangkan, seperti mall, toserba, bioskop 21, atau tempat-tempat hiburan lain ketimbang museum dan Kota Tua. Selain akses lalulintas yang saban hari macet, keamanan dan kenyamanan pengunjung menjadi taruhan. Upaya ini memang harus menyeluruh dan sinergi berbagai pihak sangat diperlukan.

5.      Yang Masih Tersisa
Bagi warga ibukota, Kota Tua Jakarta merupakan tempat yang ‘asing,’ menyulitkan dan sekaligus menakutkan. Kehidupan malam atau siang di kawasan ini dikenal sangat crowded. Bagi yang baru pertama kali ke daerah Kota, disarankan untuk tidak pergi sendirian, apalagi jika seorang perempuan. Tetapi sangat berbeda bagi Komunitas Historia dan para penggemarnya, malam atau siang tetap saja menyenangkan, karena di kawasan ini terdapat banyak sekali bangunan tua dari jaman Belanda yang menjadi tempat belajar sejarah dan jalan-jalan santai yang menantang dan menyenangkan. Di kawasan Kota Tua Jakarta terdapat bebeberapa bangunan (tua) cagar budaya seperti gedung Stasiun BeOS[27] yang dibangun pada 1925; gedong Factorij Nederlandshe Handel Matshappij (NHM) yang dibangun tahun 1929 –kini Museum Bank Mandiri; gedung Stadhuis VOC (1707) –kini Museum Sejarah Jakarta; Pelabuhan Sunda Kalapa (1527); Jembatan Kota Intan (1628); de Javasche Bank (1828) –kini Museum Bank Indonesia; Toko Merah (1730); kawasan glodok sebagai perkampungan orang-orang Cina di Batavia (1740); daerah Pekojan sebagai kampungnya orang Arab di Batavia; Gereja Sion (1695) yang dahulu dikenal sebagai De Nieuwe Portugeesche Buiten Kerk; area bekas Gudang VOC Sisi Barat (Westijzsche Pakhuiszen)  yang dibangun 1652 –kini Museum Bahari, dan bangunan bekas Gudang Kayu di belakang Museum Bahari sebagai penunjang galangan kapal di Batavia, serta beberapa bangunan lain yang kondisinya sangat megah dan indah, tetapi mengkhawatirkan.

SEMOGA INFORMASI INI BERMANFAAT .

Saturday, March 9, 2013

Pergerakan Nasional Di Indonesia pada masa penjajahan Belanda

http://andiadhit58.files.wordpress.com/2012/11/demokrasi-terpinpin2.jpg 

A. Latar Belakang Lahirnya Pergerakan Nasional

             Pergerakan nasional Indonesia lahir terutama dari kondisi dalam negeri, dan pengaruh dari luar negeri.
                  Kondisi dalam negeri itu adalah akibat sistem pemerintahan kolonial yang menimbulkan   berbagai ketimpangan dalam  masyarakat. Kondisi itu antara lain kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
  
Lalu bagaimana kondisi politik , ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia ?

1. Kondisi Politik
                 Masalah politik pada hakikatnya adalah masalah kekuasaan dalam pemerintahan. sebagai pemerintahan kolonial, semua kekuasaan pemerintah dipegang oleh belanda.

Bagaimana halnya dengan penguasa pribumi seperti raja, bupati, dan kepala desa ?  


                 Secara sistematis pemerintah Belanda berhasil melemahkan, bahkan   mengahapus kekuasaan penguasa pribumi. Kerajaan - kerajaan besar dan pengaruhpada    masa   lalu satu demi  satu    ditempatkan dibawah kekuasaan belanda. Raja - raja diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah Belanda. mereka diikat politik yang antara lain berisi pernyataan bahwa kerajaan mereka adalah bagian dari Hindia Belanda. 
                     Para bupati dan lurahpun tak lagi memegang kekuasaan. Para bupati dijadikan pegawai negeri dan digaji. Wibawa mereka merosot dimata rakyat dan posisi itu menjauhkan mereka dari rakyat. Lurah, eselon pemerintahan pribumi paling bawah, dimat rakyat merupakan alat kekuasaan kolonial yang paling nyata.
             Para penguasa pribumi terpaksa menjalankan pemerintahan Belanda, karena itulah rakyat menganggap mereka sebagai sebagian dari pemerintahan kolonial.

2. Kondisi Ekonomi
                       Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada awal abad ke-20 diketahui bahwa penghasilan rata- rata sebuah keluarga jawa hanya 64 gulden setahun. Dengan penghasilan yang sangat sedikit itu mereka masih harus melakukan berbagai kewajiban, antara lain untuk urusan desa . Hal itu menggambarkan betapa miskinnya rakyat Indonesia, padahal Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah.

Mengapa kemiskinan itu sampai terjadi ?

                         Kemiskinan yang diderita rata -  rata rakyat Indonesia adalah akibat politik drainage ( politik pengerukan kekayaan ) yang dilakukan pemerintah Belanda untuk kepentingannya sendiri. Politik drainage itu mencapai puncakny pada masa penanaman paksa ( cultuurstelsel ) dan kemudian dilanjutkan pada masa sistem ekonomi liberal.

3. Kondisi Pendidikan
                              Sampai akhir abad ke-19 perhatian pemerintah belanda terhadap pendidikan di Indonesia sangatlah kurang. Sebenarnya, pada tahun 1848 sudah didirikan beberapa sekolah. akan tetapi, sekolah itu khusus untuk mendidik calon pegawai yang akan dipekerjakan sebagai pegawai rendah di perkebunan - perkebunan milik pemerintah. Pada masa liberal pun sekolah didirikan untuk  tujuan yang sama. Pada tahun 1851, didirikan sekolah dokter jawa yang  sebenarnya merupakan sekolah yang didirikan untuk mantri cacar atau kolera sebab kedua penyakit tersebut sering menjadi wabah di beberapa daerah. Sekalah ini kemudian berkkembang menjadi STOVIA ( School Tot Opleiding Voor Inlandse Artsen ) atau sekolah dokter pribumi.


Demikian sedikit informasi dimasa penjajahan Belanda. Semoga informasi diatas bisa dan mampu membangkitkan nilai - nilai juang kita semua agar tidak menyia - nyiakan pengorbanan para pahlawan yang telah mempertahankan negara Republik Indonesia ini dari kekuasaan penjajah. .. ... .

Semangat selalu dan berjuanglah untuk masa depan kita semua dan pastinyauntuk bangsa dan negara kita yang tercinta ini. .. ..

salam sukses selalu for you all. . . . 
  




 

Wednesday, March 6, 2013

Central Javanese Mask Dance Lengger

Indonesian Traditional Dances - From the name alone people have guessed that this dance using a mask. But who would have thought when the dancers are dressed in traditional lady was a man. Apparently the presence of men in this dance has a philosophy and a specific purpose.

Mask dance Lengger including traditional dances were introduced nearly a century in Central Java. This dance was originally pioneered in Hamlet Giyanti by prominent traditional art of Kecis Village, District Selomerto, namely Mr. Gondhowinangun in 1910.

The 60's dance was further developed by Alm. Ki Hadi Soewarno. This development makes Lengger dance masks look more attractive than a dance style smooth Solo or Yogya, and even tend to look like a dance style in East Java version of the story because it supposedly came from the kingdom of Kediri.

 Lengger from Javanese "elinga ngger" which means, "remember son". This dance is to give the message that everyone should always remember the Creator and doing good to others.

He said that this dance started when King UB who lost her daughter, Dewi Sekartaji, held a contest to reward for anyone who could find the princess. When the man who discovered her daughter's husband will be and if it will be her brother.

Central Javanese Mask Dance Lengger
The competition which was followed by many knights ended up staying two participants left the Raden Panji Asmoro Build masquerading under the name of Yellow Flowers Joko Jenggala kingdom. One again, the King of the Kingdom Klono other side, the one who caused the princess escape because the king set her up.

In these searches, Joko Yellow Flower with bodyguards disguised as itinerant dancers move from one village to another. Plays the dancer was a man wearing a mask and dressed in women with improvised musical accompaniment. Apparently this dance in any pementasannya received a rousing welcome. Lengger so named, derived from the word dancer (dancer) and ger or tantrum (crowded or fussy).

Until a village dance Lengger has attracted the attention of Princess Dewi Sekartaji of hiding. But at the same time King Klono have also discovered the presence of the princess, her brother sent Tenggaron Retno who accompanied soldiers Goddess Sekartaji women to apply. But the proposal was rejected Goddess so that there was a fight and Retno Tenggaron won the Princess.

While King Klono and Yellow Flower Joko still demanding their rights to the king. Until he finally decided to keep both contestants were to fight. In the fight, Joko Yellow Flower, represented by the Knights succeeded in killing King Tawang Alun Klono. At the end of the story of Jim and Yellow Flower Goddess Sekartaji married to party with entertainment disemarakkan Lengger Mask Dance.
Dance Lengger that the development had a negative connotation because it began to lure lust packed and the audience was used to enjoy dance while intoxicated.

In this way Sunan Kalijaga teach manners, and Dance Lengger that was negative into a means of propaganda that Lengger until recently known as "elinga ngger" that teaches a dance to remember God.

Mask Dance Lengger today continues to survive to this day, the dance is usually danced by two people, a man wearing a mask and a woman eating traditional dress like a princess greatness of Java in the past. Dancers dancing around 10 minutes accompanied by xylophone music, saron, drums, gongs, and so on.

Even the few dance artists try to create a new dance adopted from Lengger Mask Dance. One of them kenyo Lengger, dance introduced by Studio Ngesti barrel.

Currently Lengger Dance unusual event staged every celebration, holidays, thanksgiving, and the other party of the people. Even more interesting to the public, Dance Lengger can also present a magical attraction smelled like lumping horse hung buyer desires.