Oleh: Asep Kambali *
A. Kota Tua Jakarta
1. Letak Geografis
Kota
Tua Jakarta terletak di Kelurahan Pinangsia Kecamatan Tamansari
Kotamadya Jakarta Barat. Saat ini, kawasan Kota Tua berada di dua
wilayah kotamadya, yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kota Tua
sebagai cikal bakal Jakarta, tentunya menyimpan banyak cerita di balik
megahnya bangunan (tua) cagar budaya peninggalan masa lalu dari zaman
kolonial Belanda.
Kota Tua Jakarta, daerahnya berbatasan
sebelah utara dengan Pasar Ikan, Pelabuhan Sunda Kalapa dan Laut Jawa,
sebelah Selatan berbatasan dengan jalan Jembatan Batu dan jalan Asemka,
sebelah Barat berbatasan dengan Kali Krukut dan sebelah Timur berbatasan
dengan Kali Ciliwung.
Kota Tua Jakarta di masa lalu
merupakan kota rebutan yang menjadi simbol kejayaan bagi siapa saja yang
mampu menguasainya. Tak heran jika mulai dari Kerajaan Tarumanegara,
Kerajaan Sunda –Pajajaran, Kesultanan Banten –Jayakarta, Verenigde Oost-indische Compagnie
(VOC), Pemerintah Jepang, hingga kini Republik Indonesia melalui
Pemerintah DKI Jakarta, terus berupaya mempertahankannya menjadi kota
nomor satu di negara ini.
2. Latar Belakang Sejarah
Sejarah
Kota Tua Jakarta dimulai dari sebuah pelabuhan yang kini dikenal
sebagai Sunda Kalapa. Pelabuhan ini pernah dikenal berbagai bangsa di
dunia sebagai pelabuhan dagang internasional termegah di Asia Tenggara. Fa Hsien
pengelana Cina pada abad ke-5 M menceritakan bahwa di bentangan Teluk
Jakarta terdapat sebuah wilayah kekuasaan yang disebut “To-lo-mo” atau
Tarumanegara.[1] Hal ini juga terdapat di dalam kronik Dinasti Tang yang
menyebutkan tentang kedatangan utusan-utusan kerajaan To-lo-mo
(penyebutan orang-orang Cina terhadap Ta-ru-ma) pada tahun 525, 528, 666
dan tahun 669 M ke negeri Cina. To-lo-mo disamakan dengan ucapan lidah
orang-orang Cina untuk negeri Ta-ru-ma atau Tarumanegara.
Sagimun (1988:34) juga menjelaskan, bahwa kerajaan Taruma-negara atau Taruma berasal dari kata tarum,
yaitu sejenis tumbuh-tumbuhan yang daunnya dibuat nila, yakni bahan cat
biru dari daun tarum (indigofera). Nila sering digunakan untuk mewarnai
kain atau sejenisnya. Kata tarum juga dipergunakan sebagai nama sungai
di Jawa Barat, yaitu Citarum. Jika kita perhatikan secara geografis,
maka letak kerajaan Tarumanegara itu memang terletak di aliran
Citarum.[2]
Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya yang
terkenal, Purnawarman, wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Jakarta,
Bekasi, Banten, dan Citarum. Hal ini dapat di ketahui dari tujuh buah
prasasti yang ditemukan di kawasan Bogor, Banten dan Jakarta, yakni
prasasti Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Muara Cianteun, Lebak, dan prasasti Tugu[3].
Prasasti yang terakhir inilah yang paling banyak memberikan keterangan
dan petunjuk mengenai kerajaan Hindu tertua di pulau Jawa, yaitu
Tarumanegara.
Prasasti Tugu ditemukan pada tahun 1878 di
Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, Kelurahan Semper, Kecamatan Cilincing,
sebelah Tenggara Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada 1910, prasasti ini
dipindahkan ke Museum Pusat[4] (Kini Museum Nasional/ Museum Gajah), dan replica-nya masih dapat kita saksikan di Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah.
Setelah
Raja Purnawarman wafat, tidak diketahui siapa pengganti baginda. Selama
beberapa abad kerajaan Tarumanegara seolah hilang begitu saja dan
kerajaan ini mengalami masa kegelapan di dalam sejarah. Hal ini karena
tidak ada satupun sumber sejarah (seperti prasasti atau batu bertulis)
yang menceritakan tentang aktivitas kehidupan manusia di Jawa Barat
setelah Tarumanegara mengirimkan utusannya yang terakhir pada 669 M ke
negeri Cina.
Rupanya kerajaan Tarumanegara telah
dikalahkan oleh suatu kekuasaan luar. Namun, tidak mungkin seluruh
rakyatnya musnah dan lenyap begitu saja dari permukaan bumi. Ada dugaan
kuat, bahwa kerajaan Tarumanegara dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya
(yang pusatnya di Palembang). Hal ini dapat diketahui dalam prasasti
Keduken Bukit, Kota Kapur dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung.
Pada tahun 686 M, Sriwijaya melaksanakan ekspedisi militernya ke Bhumijawa.
Hal ini tercantum di dalam prasasti Kota Kapur yang berangka tahun saka
608 atau tahun 686 M. Di dalam prasasti ini diceritakan pula bahwa
Bhumijawa tidak mau tunduk kepada kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu,
kerajaan Sriwijaya mengirimkan tentaranya untuk menyerang dan menghukum
Bhumijawa.
Dugaan ini semakin kuat bahwa Bhumijawa yang
dimaksud di dalam prasasti Kota Kapur itu jelas adalah Tanah Jawa atau
Pulau Jawa. Kerajaan atau negeri yang letaknya di Bhumijawa dan
berdekatan dengan kerajaan Sriwijaya pada waktu itu adalah kerajaan
Tarumanegara. Maka sangat dimungkinkan kerajaan Tarumanegara diserang
dan dihancurkan oleh kerajaan Sriwijaya.[5]
Beberapa abad kemudian, (pelabuhan) Tarumanegara dikenal sebagai pelabuhan Kalapa. Karena berada di bawah penguasaan Kerajaan Sunda –Pajajaran, maka kemudian bernama Sunda Kalapa[6] yang
terletak di muara sungai Ciliwung. Hal ini didasarkan atas keterangan
di dalam prasasti Batu Tulis yang ditemukan pada 15 Juni 1960.
Penjelasan mengenai pelabuhan Sunda Kalapa ini juga diperkuat oleh keterangan seorang pelaut Belanda Jan Huygen van Linschoten, yang menemukan rahasia-rahasia perdagangan dan navigasi bangsa Portugis, dalam karyanya Itinerario,
Lincshoten mengungkapkan bahwa “pelabuhan utama di pulau ini (jawa)
adalah Sunda Calapa. Di tempat ini didapati sangat banyak lada yang
bermutu lebih tinggi daripada lada India atau Malabar...”[7]
Kerajaan
Sunda –Pajajaran diperkirakan muncul pada abad ke-14 dan pusat
pemerintahannya terletak di Pakuan, Bogor. Rajanya yang terkenal ketika
itu adalah Sri Baduga Maharaja. Menurut Baros, seorang
pengelana Portugis, jumlah penduduk kerajan Sunda Pajajaran berkisar
100.000 jiwa. Baros, juga menambahkan, bahwa penduduk yang bermukim di
Sunda Kalapa ketika itu kurang lebih 10.000 jiwa.[8]
Pelabuhan
Sunda Kalapa merupakan salah satu dari enam pelabuhan penting di bawah
penguasaan kerajaan Sunda Pajajaran yang ramai dikunjungi
pedagang-pedagang lokal dan internasional terutama dari negeri Cina.
Pelabuhan-pelabuhan itu antara lain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede,
Tanara, Cimanuk dan Kalapa atau Sunda Kalapa.
Pelabuhan
Kalapa atau Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang letaknya paling
strategis. Pelabuhan ini mencuat pada abad ke-14 dan semakin terkenal di
awal abad ke-16.[9] Dimana ketika itu orang-orang Portugis di Malaka
telah menjalin kerjasama perdagangan dan pertahanan dengan penguasa
Sunda Kalapa pada 21 Agustus 1522 yang diwujudkan ke dalam prasasti Padrao (baca: Padrong).
Sementara
itu di tempat lain, di sebelah Barat Kerajaan Sunda telah muncul
Kesultanan Banten serta di sebelah Timur-nya telah muncul pula
Kesultanan Demak dan Kesultanan Cirebon yang ternyata juga sangat
berminat terhadap Pelabuhan Sunda Kalapa yang ramai itu.
Akhirnya,
pada 22 Juni 1527,[10] Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten bersatu di
bawah pimpinan Fatahillah menyerbu Sunda Kalapa yang secara cepat
berhasil merebut dan menguasai Sunda Kalapa. Bangsawan asal Sumatera
sekaligus menantu dari Sultan Trenggono –penguasa Demak ini, kemudian
mengganti nama Sunda Kalapa yang baru direbutnya itu, menjadi pelabuhan
“Jayakarta” yang berarti kemenangan sempurna,[11] atau kemenangan yang
gilang gemilang.
Fatahillah, kemudian diangkat menjadi
bupati Jayakarta, yang secara hierarkis bertanggung jawab kepada Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, wali yang berkedudukan di Cirebon.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, putranya Maulana Hasanudin
menjadi Sultan berdaulat di Banten dan Jayakarta menjadi wilayah vasal dari kesultanan Banten.
Penguasaan
Jayakarta berlangsung dari 1527 hingga 1619 yang berakhir ketika
orang-orang Belanda di bawah bendera VOC[12] pimpinan Jan Pieterszoon
Coen[13] berhasil menaklukan Jayakarta dan mengusir Pangeran Ahmad
Jakarta beserta pasukannya ke hutan Jati hingga wafat dan dikubur di
sana.[14]
JP. Coen dengan bebasnya menghancurkan keraton
dengan seluruh isinya dan mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Di
bawah penguasaannya, Batavia akan dijadikan ibukota suatu kerajaan
perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang dengan orang
Belanda yang memonopolinya. Ia juga membangun galangan kapal dan rumah
sakit, berbagai rumah penginapan dan toko, dua buah gereja di (dalam dan
di luar benteng) Batavia.
Ternyata, tidak semua mimpi JP.
Coen membuahkan hasil. Sang pendiri Batavia ini terlampau dianggap
kontroversial serta bahkan oleh sejarawan kolonial abad ke-20, JA. Van Den Chijs dikatakan bahwa “namanya selalu berbau darah”.[15] Namun, terlepas dari semua itu, pada ulang tahun Batavia ke-250 (1869) di Waterlooplein
(Lapangan Banteng), dibangun patung JP.Coen yang berpose gaya Napoleon.
Namun, sayang pada masa Jepang patung tersebut dilebur menjadi logam
tua.[16]
Pusat Kota Batavia terletak di bekas Balai Kota
yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta/ Museum Fatahillah. Bangunan
bertingkat dua yang menjadi pusat kota dan pemerintahan VOC se-Asia
tenggara itu diselesaikan pada tahun 1712. Namun, dua tahun sebelumnya
telah diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham Van Riebeeck
(1653-1713).[17] Tentang bangunan itu sendiri sebetulnya merupakan Balai
Kota kedua dari Balai Kota pertama yang lebih kecil, sederhana dan
didirikan pada tahun 1620, tapi hanya bertahan selama beberapa tahun
saja.
Kegiatan-kegiatan di dalam Balaikota sangat beragam,
selain mengurus masalah pemerintahan juga mengurus masalah perkawinan,
catatan sipil, peradilan, tempat hukuman mati, dan perdagangan sehingga
dahulu masyarakat mengenalnya sebagai “Gedung Bicara”. Kemudian, Balai
Kota ini juga menjadi penjara yang sangat menyeramkan, karena banyak
para tahanan yang mati sebelum dijatuhkannya hukuman. Di samping itu
juga Balai Kota digunakan sebagai pusat milisi atau Schutterij dari tahun 1620-1815 yang dikomandani oleh seorang ketua Dewan Kota Praja.
Pada
bulan Agustus 1816, Balai Kota menjadi tempat peristiwa bersejarah
bahwa Sir John Fendall mengembalikan Hindia kepada Belanda, sehingga
berakhirlah pemerintahan sementara Inggris (1811-1816). Pada tahun 1925
gedung Balai Kota ini menjadi kantor pemerintahan Provinsi Jawa Barat
sampai Perang Dunia II. Pemerintah Kota Praja Batavia pindah ke
tempatnya di Medan Merdeka selatan di samping gedung bertingkat
Pemerintah DKI Jakarta sekarang.
Seusai Perang dunia II,
gedung Balai kota itu dipakai sebagai Markas tentara (Kodim 0503).
Sewaktu Ali Sadikin menjadi gubernur, gedung dipugar dengan sangat baik,
dan sejak 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta. Sementara itu, bentuk
kota Batavia awal direncanakan sesuai dengan kebiasaan Belanda, dengan
jalan-jalan lurus dan parit-parit. Pengembangan kota ini pun tidak surut
walaupun pada tahun 1628 dan 1629 kota Batavia dikurung tentara
Mataram.
Sepeninggal JP. Coen (1629), perkembangan kota
makin pesat di bawah Gubernur Jendral Jacques Specx. Kali besar yang
semula berkelok diluruskan menjadi parit terurus dan lurus menerobos
kota. Kastil atau benteng yang adalah tempat kediaman dan kantor pejabat
tinggi pemerintah VOC di keempat kubunya ditempatkan meriam serta
tentara untuk menjaga kediaman pejabat tinggi itu serta barang-barang
berharga yang tersimpan dibalik tembok kuatnya.
Di
seberang Kali Besar dan kubangan yang menjorok ke barat laut, didirikan
Bastion Culemborg untuk mengamankan pelabuhan Batavia. Bastion atau kubu
ini sekarang masih ada. Pada tahun 1839 Menara Syahbandar didirikan
didalamnya. Di belakang tembok kota, yang mulai berdiri dari Culemborg
lalu mengelilingi seluruh kota sampai tahun 1809, dibangun berbagai
gudang di tepi barat (pertengahan abad ke-17). Gudang-gudang ini dipakai
untuk menyimpan barang dagangan seperti pala, lada, kopi dan teh.
Sebagian besar gudang penting ini sekarang digunakan sebagai Museum
Bahari.
Lebih tua dari semua gudang tersebut adalah Compagnies Timmer Er Scheepswerf
(Bengkel Kayu dan Galangan Kapal Kumpeni). Tanah tempat Museum Bahari
berdiri pada waktu galangan ini mulai beroperasi masih merupakan
rawa-rawa dan empang. Galangan kapal sudah berfungsi di tempat sekarang
ini juga sejak tahun 1632, di atas tanah timbunan di tepi barat Kali
Besar. Sampai penutupan Ciliwung di Glodok (1920), Kali Besar ini
menyalurkan air Ciliwung ke Pasar Ikan. Tetapi, kini air Kali Krukut
sajalah yang mengalir melalui Kali Besar.
Tentang Kali Besar ini,
hingga awal abad ke-18 merupakan daerah elit Batavia. Di sekitar kawasan
ini juga dibangun rumah koppel yang dikenal kini sebagai Toko Merah
dikarenakan balok, kusen dan papan dinding didalamnya di cat merah.
Rumah ini di bangun sekitar tahun 1730 oleh G. Von Inhoff sebelum ia
menjabat gubernur jenderal.[18] Pada abad ke-18 ini pula, Batavia
menjadi termasyhur sebagai Koningin Van Het Oosten (Ratu dari Timur), karena bangunannya dan lingkungan kotanya demikian indah bergaya Eropa yang muncul di benua tropis.
Namun,
pada akhir abad ke-18 citra Ratu dari Timur itu menurun drastis.
Willard A. Hanna dalam bukunya “Hikayat Jakarta” mencatat, bahwa
kejadian itu diawali oleh gempa bumi yang begitu dahsyat. Malam tanggal
4-5 November 1699, yang menyebabkan kerusakan besar pada gedung-gedung
dan mengacaukan persediaan air dan memporak-porandakan sistem pengaliran
air di seluruh daerah. Gempa itu disertai letusan-letusan gunung api
dan hujan abu yang tebal, yang menyebabkan terusan-terusan menjadi penuh
lumpur. Aliran sungai Ciliwung berubah dan membawa sekian banyak
endapan ke tempat dimana sungai itu mengalir ke laut, sehingga kastil
yang semula berbatasan dengan laut seakan-akan mundur sekurang-kurangnya
1 kilometer ke arah pedalaman.
Untuk menanggulangi
berbagai masalah penyaluran air dan guna membuka daerah baru di
pinggiran kota, pihak VOC Belanda telah mengubah sistem terusan yang ada
secara besar-besaran. Pembukaan terusan baru yang penting tepat di
sebelah Selatan kota pada tahun 1732. Jatuh bersamaan waktunya dengan
wabah besar pertama suatu penyakit, yang sekarang diduga adalah mal-aria
(malaria), suatu bencana baru bagi penduduk kota yang berulang kali
menderita disentri dan kolera (pada zaman itu belum diketahui).
Pada
tahun 1753 Gubernur Jenderal Mossel atas nasehat seorang dokter
menganjurkan supaya air kali dipindahkan dari tempayan ke tempayan
dengan membiarkan kotorannya mengendap sampai tampak bersih, lalu tidah
usah dimasak. Sampai akhir abad ke-19 banyak orang tak peduli dan minum
air Ciliwung begitu saja.
Hampir tidak dapat dibayangkan
betapa tidak sehatnya daerah kota dan sekitarnya pada abad ke-18.
Orang-orang kaya memang mampu meninggalkan rumah mereka di Jalan
Pangeran Jayakarta dan pindah ke selatan, ke kawasan Jalan Gajah Mada
dan Lapangan Banteng sekarang. Tetapi tidak demikian halnya dengan orang
miskin, sehingga bahkan tidak mampu lagi untuk dikubur di pekuburan
budak-belian, di lokasi yang kini menjadi tempat langsir Stasiun Kota di sebelah utara Gereja Sion. Karena itu pula, Batavia di akhir abad ke-18 mendapat julukan baru sebagai Het graf der Hollander (kuburan orang Belanda).
Akibat
berikutnya, sesudah 1798 banyak gedung besar di dalam kota juga kampung
lama para Mardijker yang digunakan sebagai ‘tambang batu’ untuk
membangun rumah baru di daerah yang letaknya lebih selatan. ‘Tambang
Batu’ ini terjadi karena begitu banyak orang susah mendapatkan makanan
dan karena wilayah di selatan kota tengah dibangun, maka orang-orang
miskin kala itu banyak yang menggugurkan rumah dan menjual bebatuannya
untuk memperoleh makanan. John Crawfurd dalam bukunya Descriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Countries (London, 1856) menuliskan :
“Orang
Belanda tidak memperhatikan perbedaan sekitar 45 derajat garis lintang,
waktu mereka membangun sebuah kota menurut model kota-kota Belanda.
Apalagi kota ini didirikan pada garis lintang enam derajat dari
khatulistiwa dan hampir pada permukaan laut. Sungai Ciliwung yang
dialirkan melalui seluruh kota dengan kali-kali yang bagus, tak lagi
mengalir karena penuh endapan. Keadaan ini menimbulkan wabah malaria,
yang terbawa oleh angin darat bahkan ke jalan-jalan di luar kota.
Akibatnya, meluaslah penyakit demam yang mematikan. Keadaan ini makin
parah selama 80 tahun -sesudah Batavia didirikan, oleh serentetan gempa
bumi hebat yang berlangsung pada tanggal 4-5 November 1699. Gempa
tersebut menyebabkan terjadinya gunung longsor, tempat pangkal sumber
air ini. Aliran airnya terpaksa mencari jalan baru dan banyak lumpur
terbawa arus. Tak pelak lagi, kali-kali di Batavia bahkan
tanggul-tanggulnya penuh dengan lumpur. Penanggulangan keadaan buruk itu
baru dilaksanakan waktu pemerintahan Marsekal Daendels pada zaman
Perancis tahun 1809 (zaman Perancis sesungguhnya hanya berlangsung dari
bulan Februari sampai Agustus 1811). Penanggulangan tersebut diteruskan
sampai pada 1817 di bawah pemerintahan Belanda yang ditegakkan kembali.
Banyak kali di timbun dan kiri-kanan sungai dibentengi tanggul sampai
sejauh satu mil masuk teluk. Operasi yang dilanjutkan oleh para insinyur
yang cakap, berhasil menormalkan arus sungai tersebut. Sesudahnya
Batavia tidak sehat daripada kota pantai tropis manapun. Bagian kota
yang baru atau pinggiran kota tidak pernah mempunyai reputasi
jelek”.[19]
Sementara itu, pada 09 Mei 1821 Bataviasche Courant
melaporkan, bahwa 158 orang meninggal akibat kolera di Kota dan tiga
hari kemudian 733 korban lagi di seluruh wilayah Batavia. Rumah sakit
masih sangat jelek dan hanya orang-orang yang sangat kuat saja yang
dapat meninggalkan bangsal rumah sakit dalam keadaan hidup.
Tragedi ini menjadi akhir kisah Oud Batavia dan menjadi awal pembentukan Nieuw Batavia (Batavia Baru) di tanah Weltevreden
(kini sekitar Gambir dan Monas). Inilah tragedi mengerikan tentang
sebuah kota akibat kegagalan penduduknya dalam mengelola lingkungan.
Akankah tragedi ini terulang? Semua bergantung pada kearifan kita dalam
memahami alam lingkungan yang serba terbatas di hadapan nafsu manusia
yang kerap melampaui batas sewajarnya.
VOC hanya bertahan
hingga 1799,[20] setelah itu pemerintahan Nederlansche Indie (Hindia
Belanda) di ambil alih langsung oleh Kerajaan Belanda. Di bawah
penguasaan langsung dari Kerajaan Belanda, pada pertengahan abad ke-19,
kawasan Nieuw Batavia ini berkembang pesat. Banyak bangunan-bangunan berarsitektur indah menghiasi kawasan ini.
Pada
1942 tentara Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Kerajaan Belanda
atas Batavia dan mengganti namanya menjadi Jakarta begitu pun Pelabuhan
Batavia digantinya menjadi Pelabuhan Jakarta.[21] Pada periode ini
banyak bangunan peninggalan Belanda yang diratakan dengan tanah. Salah
satunya Amsterdam Poort yang terletak di jalan Cengkeh
sekarang. Untung saja Jepang berkuasa tidak lebih dari tiga tahun, tepat
pada pada 17 Agustus 1945, Hindia Belanda di Proklamasikan rakyat
Indonesia dan Jakarta namanya diabadikan sebagai ibukota dari Republik
Indonesia.
3. Pentingnya Pelestarian Kota Tua Jakarta
Dengan
latar belakang sejarah yang begitu panjang, maka sangat layak jika
kemudian daerah bekas kekuasaan berbagai kerajaan dan negara itu kita
sebut sebagai Kota Tua. Sebagai Kota yang tua (lama), sudah tentu banyak
menyimpan bangunan-bangunan (tua) sisa peninggalan para pendahulu yang
bernilai sejarah, arsitektur dan arkelologis dari beberapa zaman yang
berbeda.
Untuk melestarikannya, pemerintah DKI Jakarta
melindungi bangunan-bangunan tersebut berdasarkan Undang-Undang
Monumenten Ordonantie No.19 tahun 1931, (Staatsblad Tahun 1931 No. 238),
yang telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21 Tahun 1934
(Staatsblad Tahun 1934, No. 515).[22] Upaya ini tak lepas dari peran dan
ide sang Gubernur Jakarta ketika itu, yakni Ali Sadikin (1966-1977)
tatkala dirinya banyak berkunjung ke Eropa saat menjabat sebagai Deputy
Menteri Panglima Angkatan Laut sebelum menjadi gubernur.
Bang
Ali (panggilan akrab Ali Sadikin), segera merealisasikan ide dan
gagasannya itu dengan berlandaskan pada Undang-Undang di atas ke dalam
SK Gubernur No.Cb. 11/1/12/1972 tanggal 10 Januari 1972 yang pada
intinya berisi penetapan tentang pemugaran bangunan, penetapan daerah
khusus yang dilindungi karena bernilai sejarah dan arsitektur.
Upaya
ini sempat terhenti selama lebih dari 20 tahun, dan dinilai perlu untuk
menetapkan pengaturan benda-benda cagar budaya dengan mengeluarkan
Undang-Undang No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB) yang
setahun kemudian direalisasikan oleh Pemda DKI Jakarta dengan
mengeluarkan SK Gubernur No.Cb. 475 Tahun 1993 yang isinya menetapkan
Bangunan-Banguan Bersejarah dan Monumen di DKI Jakarta dilindungi
sebagai bangunan cagar budaya (BCB) oleh pemerintah.
Benda
Cagar Budaya seperti yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut
adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang
merupakan kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisanya,
yang berusia sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang
khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap
mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Semua benda cagar budaya, yang terdapat di wilayah hukum Republik
Indonesia, dikuasai oleh negara.
Asep Kambali, pemerhati
Kota Tua Jakarta mengatakan bahwa di Jakarta terdapat lebih dari 216
bangunan cagar budaya (BCB) yang dilindungi berdasarkan SK Gub. No.
475/1993 yang diantaranya itu hampir 75% kondisinya sangat
mengkhawatirkan.[23] Hal ini menjadi bukti bahwa warga Jakarta belum
memiliki perhatian dan kepedulian terhadap potensi kotanya sendiri. Ini
juga disinyalir sebagai rendahnya kesadaran sejarah dan budaya warga
kota metropolitan tersebut.
4. Potensi yang terabaikan
Kini,
kawasan Kota Tua Jakarta sedang dibenahi Pemda DKI Jakarta dalam suatu
proyek revitalisasi. Namun, berdasarkan pengamatan penulis, sangat
disayangkan proyek tersebut baru serius dikerjakan ketika terdapat
beberapa bangunan-banguan (tua) cagar budaya telah hancur dan kondisinya
sangat memprihatinkan. Jembatan Kota Intan yang dibangun 1628 misalnya,
kini diambang roboh karena kondisinya telah rapuh. Ditambah lagi
beberapa bangunan lain seperti seperti Museum Bahari yang atapnya roboh
pertengahan tahun 2006 lalu; Gedung Cipta Niaga yang dibangun sekitar
1910-an, kini kondisi atapnya telah roboh; gedung Kota Bawah yang
semakin hari semakin merana, dan sebagainya yang itu semua teramati
secara jelas oleh Peneliti ketika melakukan observasi ke daerah Kota Tua
Jakarta.
Gedung-gedung tersebut merupakan saksi sejarah
yang seharusnya dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatkan sebagi potensi
pariwisata yang bermanfaat ekonomis dan sosial. Namun, sejak pemerintah
memfokuskan pembanguan ke kawasan “segitiga emas” Jl. Sudirman, Jl. MH.
Thamrin dan Jl. HR. Rasuna Said, kawasan Kota Tua sepertinya dilupakan
oleh pemerintah lebih dari 30 tahun sejak Bang Ali menetapkan Kota Tua
Jakarta sebagai kawasan cagar budaya yang dilindungi.
Salah satu proyek revitalisasi yang gencar dilakukan dan kini tersendat adalah Proyek Tunel
(Tempat Penyeberangan Orang Bawah Tanah –TPO BT) yang menghubungkan
Museum Bank Mandiri dengan Stasiun BeOS –Jakarta Kota. Proyek itu sangat
kontroversial karena kabarnya tidak melibatkan sejarawan dan arkeolog
dalam pelaksanaanya. Kabarnya proyek ini melanggar SK Gub. No.475/1993,
dan berdasarkan SK tersebut, proyek ini layak jika disebut sebagai Archeological Crime.
Hal ini disebabkan proyek tidak dihentikan ketika banyak ditemukannya
artefak-artefak dari dalam tanah pada proyek tersebut.[24]
Proyek yang lain adalah Pembangunan Predestrian
(trotoar) Jalan Pintu Besar Utara sepanjang 300 meter. Proyek ini
walaupun telah selesai, kabarnya juga kontroversial. Konsep yang di
kerjakan oleh arsitek kenamaan Budi Liem, juga mengundang kritik banyak
pihak seperti ahli tata ruang kota, Marco Kusumawidjaja.[25]
Kedua
proyek di atas, sebenarnya adalah untuk mendukung Revitalisasi Kota Tua
yang sudah hampir 30 tahun tersendat. Namun, perlu digarisbawahi, hal
yang paling penting adalah bahwa ini tak terlepas dari upaya bagaimana
sesungguhnya menumbuhkan penghargaan, kepedulian dan kesadaran
masyarakat terhadap kawasan Kota Tua Jakarta.
Pemerintah
jujur mengakui, bahwa generasi muda kita saat ini kurang begitu suka
berkunjung ke museum atau pun ke Kota Tua Jakarta.[26] Hal ini
disebabkan karena kurangnya kesadaran sejarah dan budaya masyarakat
Jakarta terhadap kotanya. Belajar sejarah merupakan sesuatu yang
membosankan, apa lagi berkunjung ke museum yang sama sekali belum
menjadi habbit (kebiasaan). Betapa tidak, pilihan diluar museum
lebih manjanjikan dan menyenangkan, seperti mall, toserba, bioskop 21,
atau tempat-tempat hiburan lain ketimbang museum dan Kota Tua. Selain
akses lalulintas yang saban hari macet, keamanan dan kenyamanan
pengunjung menjadi taruhan. Upaya ini memang harus menyeluruh dan
sinergi berbagai pihak sangat diperlukan.
5. Yang Masih Tersisa
Bagi
warga ibukota, Kota Tua Jakarta merupakan tempat yang ‘asing,’
menyulitkan dan sekaligus menakutkan. Kehidupan malam atau siang di
kawasan ini dikenal sangat crowded. Bagi yang baru pertama kali
ke daerah Kota, disarankan untuk tidak pergi sendirian, apalagi jika
seorang perempuan. Tetapi sangat berbeda bagi Komunitas Historia dan
para penggemarnya, malam atau siang tetap saja menyenangkan, karena di
kawasan ini terdapat banyak sekali bangunan tua dari jaman Belanda yang
menjadi tempat belajar sejarah dan jalan-jalan santai yang menantang dan
menyenangkan. Di kawasan Kota Tua Jakarta terdapat bebeberapa bangunan
(tua) cagar budaya seperti gedung Stasiun BeOS[27] yang dibangun pada
1925; gedong Factorij Nederlandshe Handel Matshappij (NHM) yang dibangun tahun 1929 –kini Museum Bank Mandiri; gedung Stadhuis VOC (1707) –kini Museum Sejarah Jakarta; Pelabuhan Sunda Kalapa (1527); Jembatan Kota Intan (1628); de Javasche Bank
(1828) –kini Museum Bank Indonesia; Toko Merah (1730); kawasan glodok
sebagai perkampungan orang-orang Cina di Batavia (1740); daerah Pekojan
sebagai kampungnya orang Arab di Batavia; Gereja Sion (1695) yang dahulu
dikenal sebagai De Nieuwe Portugeesche Buiten Kerk; area bekas Gudang VOC Sisi Barat (Westijzsche Pakhuiszen)
yang dibangun 1652 –kini Museum Bahari, dan bangunan bekas Gudang Kayu
di belakang Museum Bahari sebagai penunjang galangan kapal di Batavia,
serta beberapa bangunan lain yang kondisinya sangat megah dan indah,
tetapi mengkhawatirkan.
SEMOGA INFORMASI INI BERMANFAAT .